Pembelajaran dari pacaran jarak jauh

Beberapa waktu yang lalu, gue menerima skype call dari seorang teman. Sebut saja namanya Mila. Dia barusan pindah ke Australia untuk mulai pendidikan S2 … tapi ada satu hal yang bikin dia sedih banget saat nelpon gue. Dia udah menikah selama satu tahun terakhir, dan suaminya masih bekerja di Indonesia. Rupanya long-distance marriage bikin Mila sangat depresi dan kesepian, meskipun di Australia dia udah bertemu teman-teman baru, dan meskipun dari dulu impian terbesarnya adalah untuk tinggal dan belajar di negeri kanguru.

“Mae,” dia bilang di telpon, “kamu kok tahan sih sama yang namanya LDR? Apa aku aja yang aneh, sampai depresi begini? Kamu dulu gimana caranya?”

Menurutku sih engga aneh … tiap orang pasti berbeda, dari kepribadian hingga lingkungan sekitar, semuanya akan ngaruh ke gimana kita bakal ngadepin long-distance relationship/marriage.

Di sini, gue engga mau ngasih saran prescriptive mengenai bagaimana cara berhasil melalui LDR, karena engga ada jawaban pasnya. Solusinya akan berbeda tergantung pada konteks kita masing-masing. Bahkan mungkin, bagi beberapa orang, tidak akan ada solusinya.
Menurut gue, memang ada beberapa tipe manusia tertentu yang engga bakal bisa LDR. Beberapa tipe manusia yang butuh perhatian fisik, butuh pasangannya hadir secara fisik untuk nemenin dia kesana-kemari, dan engga sanggup secara mental dan emosional kalau dia engga dapetin hal itu dari hubungannya. Ada yang tipenya curigaan banget dan jadi resah kalau HP pacar engga dikontrol … dan alhasil … sering berantem, selingkuh, dan/atau putus.

Gue engga ngebandingin antara tipe mana yang lebih baik.

Gue cuma mau ngasi pengalaman LDR gue sendiri.

Mungkin karena gue udah punya pengalaman LDR sejak tamat high school, dan selama bertahun-tahun pula, gue udah terbiasa dengannya. Ditambah lagi karena gue kepribadiannya emang sangat individualistis.
Bukan berarti gue engga seneng ngelakuin hal-hal bersama pacar — cuma artinya, gue juga seneng ngelakuin beberapa hal sendirian. Gue bahkan betah tinggal di rumah sendirian sepanjang weekend. Gue juga seneng ngelakuin hal-hal bareng temen atau rekan kerja … tanpa pacar pun engga masalah.
Kalaupun lagi kangen, video call aja udah cukup. Kalau lagi kangen berat, kita bisa video-call-an sepanjang pekan tanpa henti, lho. Cuma kita masing-masing sibuk dengan kegiatan sendiri. Dia bisa sedang belajar, gue lagi masak. Kalau pas sama-sama lagi engga sibuk, kita bisa nonton film barengan, debat engga penting tentang suatu berita, curhat tentang kerjaan, dsb.
Dan itu udah cukup ngebantu buat gue.

“Ah, lu kan engga sampe long-distance marriage. Pacaran doang. Beda, tau.”

Gue pacaran secara long-distance, jangka waktunya bahkan ngalahin jangka waktu pernikahan beberapa kenalan gue.

Ada orang yang baru kenal setahun sudah menikah. Pacar LDR pertama gue, sebut saja Tom, adalah temen dekat gue di sekolah selama tiga tahun. Berarti gue udah membangun hubungan selama tiga tahun sebelum pacaran … udah tau kebobrokan dan kebaikan masing-masing, udah saling ketemu anggota keluarga, udah tumbuh bersama dan melalui susah-senang bersama.
Beberapa orang yang sudah menikah pun belum tentu tahu segitunya tentang suami/istrinya — jadi apakah sudah menikah atau belum, engga bisa menjadi patokan susah atau tidaknya suatu long distance relationship.

Kecuali kalau udah punya anak — itu lain lagi ceritanya. Susahnya beda, ya, kalau punya anak. Tapi hadirnya seorang anak itu akan membuat hubungan orang tua berubah dan lebih susah, baik dalam LDR atau non-LDR.

Gue pacaran dengan Tom itu selama tujuh tahun. Empat tahun barengan, tiga tahun LDR. Putusnya baik-baik, dan itupun alasannya karena kita udah berubah *ciyeh. Namanya juga cinta monyet, dari zaman high school hingga (hampir) tamat kuliah. Tentunya kepribadian dan dunia kita udah engga se-kompak dulu lagi.

Setelah itu, pacar gue pas kuliah, kembali ke negaranya setelah kita pacaran satu tahun, dan LDR-an lagi selama tiga tahun sebelum putus.

Putusnya juga bukan karena LDR itu sendiri. Lebih karena kita terlalu berbeda, sih, dari segi kepribadian. Hingga laki gue sekarang, kita LDR selama empat tahun.

“Hobby banget lo LDR-an.”

Sebenernya ada juga selingan-selingan yang bukan LDR, tapi karena kita ngomongin masalah LDR, yang gue singgung cuma yang relevan aja.

Intinya sih, dari pengalaman gue, gue berkesimpulan bahwa long distance makes your relationship stronger.

Bukan berarti gue nyaranin elo-elo pada buat LDR-an semua, ya. Maksud gue, hubungan jarak jauh itu salah satu ujian terbesar dalam suatu hubungan, dan kalau lo dan pasangan lo mampu ngelewatin masa itu (tentunya tanpa selingkuh atau putus), hubungan kalian akan tambah kuat.
Kenapa gue berani bilang begini? Karena dengan LDR, kalian pasti akan tambah dekat secara emosional, tapi juga belajar bahagia secara individual — and it’s so important to be happy by yourself in order to be happy in a relationship.

Kalian akan menemukan hiburan sendiri selama pacar jauh; kalian akan memiliki kehidupan masing-masing, jadi kebahagiaan kalian engga dependen pada pacar. Tapi di sisi lainnya, semua itu bisa kalian share melalui video-call. Kalian akan sering ngobrol, bahkan mengenai hal-hal kecil gapenting, jadi meskipun kalian memiliki kehidupan masing-masing, kalian tetep involved dalam kehidupan pasangan kalian.

Ada beberapa orang yang suka bilang, “Gue engga bakal bisa LDR. Mending putus aja.” Menurut gue pribadi (dan mohon jangan tersinggung kalau ada yang ngerasa), orang-orang yang bilang begini just haven’t met the right person yet. Mereka memang belum nemuin pasangan yang sangat mereka cintai, hingga mereka rela melakukan dan mencoba apapun demi memperjuangkan hubungan mereka.

Di lain sisi, ada juga beberapa orang yang bilang, “Kita bakal LDR-an nih, mending kita nikah dulu.” Banyak yang beranggapan kalau nikah, kemungkinan selingkuhnya akan sangat kecil — bahkan nol. Of course ini anggapan yang salah. Buktinya, banyak suami-istri yang selingkuh. Ini keputusan masing-masing sih, tapi lagi-lagi menurut gue, mending mantepin dulu orangnya sebelum lo yakin mau nikah cuma karena alasan bakal LDR.

“Lalu apakah LDR lebih baik daripada hubungan jarak dekat?”

Of course not. Hubungan LDR dimana-mana, kalau serius, pasti idealnya adalah untuk akhirnya hidup bersama; atau paling tidak, berdekatan.

Dan belum tentu juga pasangan yang berhasil melalui LDR akan berhasil hidup bersama; apalagi kalau pasangan tersebut belum pernah bertemu secara langsung sebelumnya. Kita juga harus tahu kebiasaan-kebiasaan pasangan kita. Mungkin ada hal-hal kecil yang nyebelin banget yang engga akan kalian ketahui melalui video-call.

Tapi masalah-masalah seperti ini juga akan dialami oleh pengantin baru, bukan hanya oleh pasangan LDR. Apalagi dalam budaya Asia Tenggara dimana hidup bersama pacar sebelum menikah adalah hal yang sangat ditentang.

Jadi, gue bukannya meng-endorse kalian semua untuk nyobain hubungan jarak jauh, lho. Cuma keep an open mind saja, karena ada sisi positifnya juga. Dari semua pacar-pacar LDR gue, engga pernah gue sekalipun menyesali nyobain LDR. Gue belajar banyak hal selama gue LDR-an.

Perbedaan waktu bikin gue belajar sabar dan pinter membagi waktu.

Kesibukan keseharian pacar bikin gue belajar menikmati waktu sendiri dan mendalami hobby-hobby yang bikin gue bahagia.

LDR-an sejak zaman dimana belum ada skype, facetime, whatsapp — dan hanya bisa mengandalkan MSN Messenger dan e-mail ngajarin gue untuk puas dengan sekedar menerima SMS atau e-mail; dan ngajarin gue untuk bersyukur dan engga menyia-nyiakan waktu ngobrol semenit pun.

Lamanya pacaran jarak jauh bikin gue sadar bahwa manusia selalu berubah, dan kadang ada kalanya kita tidak cocok lagi dan harus move on.

Jarangnya bertemu langsung bikin kita pintar mencari kesenangan simple bersama, seperti main games online berdua, nonton film bersamaan, membicarakan hal-hal dari gosip murahan hingga politik, berbagi cerita mengenai pengalaman di masa lalu hingga masa kini, dsb.

Jarak yang jauh ngajarin gue untuk engga curigaan dan mempercayai pacar sewajarnya.

Susahnya perjuangan untuk dapat hidup bersama membuat gue lebih future-oriented dan organised, mengajarkan gue untuk banyak membaca dan research, dan membuat gue lebih berani menghadapi masalah-masalah lain dalam hidup yang jadinya terkesan remeh sekali.

Akhirnya bersama pasangan setelah sekian lama melalui LDR membuat gue jauh lebih mensyukuri hubungan kita, and not taking my partner for granted.

9 respons untuk ‘Pembelajaran dari pacaran jarak jauh

  1. LDR berhasil kalau memang ketemu orang yang tepat. Pernah juga LDR jaman dulu, tapi si cowok ngeluh terus dan selingkuh akhirnya. Sekarang sama suami, long distance marriage yang dulunya juga long distance relationship. Dan itu berhasil2 aja, malah bikin makin sayang dan kalau bareng jadi makin menghargai keberadaan satu sama lain. Intinya sih memang dari orangnya masing2 bisa apa ga, dan itu yang bikin berhasil melewati atau ga.

    Disukai oleh 1 orang

  2. Ah, aku bakalan susah kalau disuruh LDR, wong pas pacaran sama si pacar (ya iyalah! haha), pas dia tinggal di Malmö (seberang jembatan, 20 menit naik kereta) aja suka kangen (halah), apalagi kalau jauh amit2…. Tapi biarpun skrg udah tinggal bareng, entah kenapa gw jg ga selalu tempel2 dia terus hahaha, emang aku orangnya aneh, kalau jauh kangen, kalau udah dideketi ya malah bilang lo jangan2 tempel2 melulu ah (dia justru yang suka nempel2 macem kucing haha)….

    Suka

  3. Aku dikenal sebagai pakar LDR diantara para sahabat. Bagaimana tidak, pacaran dulu hampir selalu LDR dan selalu kandas haha kecuali sama suami. Tapi meskipun kandas, tetep ga kapok LDR an. Karena buatku, LDR itu ada sisi adrenalin kita yang dipacu. Menantang. Aku LDR an sama suami 6 bulan, LDM 6 bulan. Itupun telpon sekali dalam dua minggu. Whatsapp an juga ga sering2. Aku ga suka sering2 di telpon atau di wa.

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.